Langkat –Dinas Pendidikan (Disdik) Langkat mengeluarkan mengeluarkan kebijakan mengenakan seragam busana Melayu bagi siswa SD-SMP menimbulkan kontriversi. Bukan hanya sekadar beban biaya, beberapa kalangan menilai, hal ini terkesan jauh dari makna Bhineka Tunggal Ika.
Di kalangan wali murid, kebijakan yang dikeluarkan pada 24 Juli 2025 kemarin, justru terkesan membebani. Pasalnya, pada awal tahun ajaran baru ini, orang tua siswa sudah mengeluarkan biaya untuk membeli pakaian sekolah dan seragam pramuka.
“Karena gak ada biaya, untuk anak ku yang kelas 1 SD aja, pakaian kakaknya kelas 3 SD yang dipakai. Ini kok malah disuruh buat baju Melayu untuk dipakai setiap Jum’at. Kalau mau buat kebijakan, siapkanlah bantuan untuk siswa. Jangan malah nambah beban kami,” ketus Suri, salah seorang wali siswa, Kamis (7/8/2025) pagi.
Ungkapan itu, bukanlah bentuk penolakan warga untuk menumbuhkan nilai-nilai budaya di lingkungan sekolah. Namun, Surat Edaran (SE) Disdik Langkat Nomor 400.35.4/3834/DISDIK/2025 terkait kebijakan tersebut, dinilai masih kurang bijak.
Hal senada juga disampaikan Riska, wali murd dari salah satu sekolah SMP di Stabat. Ia menilai, banyak suku dan etnis yang mendiami Bumi Bertuah. Semestinya, Disdik Langkat memberi kebebasan murid untuk menggunakan busana adatnya masing-masing.
“Saya juga orang Melayu. Tapi apa salahnya kalau murid diberi kebebasan menggunakan busana etnis lainnya. Termasuk soal biaya, semestinya adalah bantuan dari pemerintah,” ujar Riska.
Multikultural
Menyikapi hal ini, Ketua PB Gerbang Malay Dato’ Setiya Samudra Wangsa Adhan Nur angkat bicara. Ia menilai, ada beban biaya kepada wali murid untuk menyediakan busana tersebut.
Hal tersebut, semestinya menjadi bahan pertimbangan dinas terkait sebelum mengeluarkan surat edara. Mengingat, para wali murid sudah terbebani biaya perlengkapan sekolah saat masuk tahun ajaran baru.
“Kalau ngeluarkan kebijakan, semestinya ada solusi. Jadi tidak membebani masyarakat. Perihal busana Melayu, saya rasa sah-sah aja diterapkan. Karena, Langkat ini kan juga Tanah Melayu. Bukan berarti menepis Kebhinekaan ataupun homogenisasi,” ujar Tokoh Melayu Langkat ini.
Koordinator Lawan Institute Sumatera Utara Abdul Rahim Daulay mengatakan, bahwa di Kabupaten Langkat terdapat berbagai Suku dengan budayanya masing-masing. Sebaiknya, kebijakan ini tidak ditekankan pada satu etnis saja.
“Langkat didiami oleh beberapa suku, jadi hendaknya setiap siswa memakai pakaian adatnya masing-masing, karena Langkat ini Multikultural. Jadi akan menambah nilai keberagaman dan juga jangan menjadi beban biaya bagi orang tua siswa. Karena tidak semua ekonominya bagus semua siswa,” ujar Rahim.
Seharusnya, surat edaran atau peraturan ini disosialisasikan terlebih dahulu. Bukan dijalankan dahulu baru disosialisasikan. Sehingga, kita tidak tau apa yang menjadi hambatan untuk melaksanakan peraturan ini.
“Kalau sudah ramai begini, jadinya repot. Seharusnya sudah ada sosialisasi ke wali murid untuk surat edaran ini. Jadi solusi sudah ada ataupun tidak, menjadi beban bagi wali murid. Aturan ini harus ditangguhkan sebelum adanya solusi yang nyata,” tegas Rahim. (Ahmad)